Sejarah Proklamasi Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah
bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang
mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari
kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau
“Dokuritsu Junbi Cosakai”, berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam
bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas
Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan
sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI
dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat,
250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi.
Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada
tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa
Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan
sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang
melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta
dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari,
tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno,
Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar
Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan
di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus
menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis,
antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang
hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah
menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan
darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia
belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak
memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah
badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan
‘hadiah’ dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang
menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di
Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di
Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh
mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang
bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin
terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat
proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda
tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk
oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri,
bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi
penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya
di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo
kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka
Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka
dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia
belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang
dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di
kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan
yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak
dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus
pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.
Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Para pemuda pejuang, termasuk
Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana –yang konon kabarnya terbakar gelora
heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka –yang
tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari
tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA,
dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang
baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal
sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan
Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan
Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua,
yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel
Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk
pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk
menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai
tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Perjuangan Menjelang Kemerdekaan
Malam harinya, Soekarno dan Hatta
kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke
XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan)
di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda
Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala
Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan
rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16
Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status
quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan
Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat,
Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura
apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar
dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi
kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang
panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh
Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira
penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak
punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura,
Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1)
diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura,
Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi
dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni,
B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di
kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada
kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan
teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti
kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan
kekuasaan itu berarti “transfer of power”. Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah,
Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima
tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati,
Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang
diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann
Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada,
namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan
Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Perundingan antara golongan muda dan
golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung
pukul 02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di
laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu
adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah
Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani
teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi
harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah
hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00
dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa
teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati,
dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat
itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk
menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya
dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief
Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas
tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera
Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari
sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya..
Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen
Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung,
kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang
terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari
Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi,
namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul
05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih
menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar
dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks
Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para
pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak
naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53 ).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota,
Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang
diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro
memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena
situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih
ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari
sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi
tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit
dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran
bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang,
kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara itu, rakyat yang telah
mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah
Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris
teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari
pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu
Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur
setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak
berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi.
Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera
dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera
membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks
Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai,
Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar
Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari
tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih.
Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro (
1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu
berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang
anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah
menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap
sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju
beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno
mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
“Saudara-saudara sekalian ! saya
telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha
penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah
berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada
turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman
Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam
jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi
pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya
pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil
nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya
bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri
dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan
pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu
seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan
kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami:
PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia .
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan
dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17
Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah
saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang
mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita!
Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya
Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu“. ( Koesnodiprojo, 1951 ).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran
bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak
tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang.
Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih
baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief
Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang
bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan
mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan.
Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama
lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan
dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Bendera Pusaka Sang Merah Putih
adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu
dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari
kain tukang soto.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 ) mengemukakan bahwa ada sepasukan
barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S.
Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara
lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi
sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar
dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya
diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu
Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat.
Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau
beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan
kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta
pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang.
Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro
sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor
mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk,
sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang
dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk
melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya
ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan
Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling
utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan
di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang
itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan
kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN
untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang
plat filmnya tinggal tiga lembar (saat itu belum ada rol film).
Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3
(tiga) ; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat
pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang
sangat bersejarah.
Pada tanggal 18 Agustus 1945,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan
dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian
terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik
(NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta
terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil
presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Banyak orang -ya paling tidak saya-
berpikir bahwa suara Bung Karno membacakan proklamasi itu mengudara juga di
radio pada hari yang sama saat Indonesia merdeka. Ternyata bukan begitu
ceritanya. Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar jam 17:30 WIB. Saat itu Pak Jusuf
sedang berada di kantornya, Hoso Kyoku (Radio Militer Jepang di Jakarta).
Tiba-tiba muncullah Syahruddin, seorang pewarta dari kantor berita Jepang Domei
dengan tergesa-gesa. (Catatan: Pak Jusuf sempat meralat kebenaran berita bahwa
yang datang itu adalah sejarawan Des Alwi). Syahruddin yang masuk ke kantor
Hoso Kyoku dengan melompati pagar itu menyerahkan selembar kertas dari Adam
Malik yang isinya “Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud
adalah Naskah Proklamasi yang telah dibacakan Bung Karno jam 10 pagi.
Masalahnya, semua studio radio Hoso Kyoku sudah di jaga ketat sejak beberapa
hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh
Amerika. Jusuf kemudian berunding dengan rekan-rekannya, diantaranya Bachtiar
Lubis (kakak dari Sastrawan dan tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis) dan Joe
Saragih, seorang teknisi radio. Beruntung, studio siaran luar negeri tidak
dijaga. Saat itu juga dengan bantuan Joe, kabel di studio siaran dalam negeri
di lepas dan disambungkan ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19:00 WIB
selama kurang lebh 15 menit Jusuf pun membacakan kabar tentang proklamasi di
udara, sementara di studio siaran dalam negeri tetap berlangsung siaran seperti
biasa untuk mengecoh perhatian tentang Jepang. Belakangan tentara Jepang
mengetahui akal bulus Jusuf dan kawan-kawannya. Mereka pun sempat disiksa.
Beruntung mereka selamat. Malam itu pun radio Hoso Kyoku resmi dinyatakan
bubar, tetapi dunia saat itu juga sudah mengetahui kabar tentang proklamasi
langsung dari mulut Jusuf Ronodipuro. Sayang rekaman suara ini tidak diketahui
lagi keberadaannya, atau jangan-jangan sudah tidak ada mengingat malam itu juga
radio tersebut ditutup oleh Jepang.
Momentum perayaan Hari Kemerdekaan
pada tahun ini ternyata istimewa. Itu karena detik-detik proklamasi pada tahun
1945 juga bertepatan dengan bulan Ramadan.
Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00,
ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur
56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi
dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep
naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Pating greges, keluh
Bung Karno setelah dibangunkan de Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian
darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom
chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian
rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00,
keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah.
“Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di
hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu
kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang
singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang.
Upacara Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada
konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu
secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi
itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang
dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun.
Comments
Post a Comment